By : Mega Agustina Nfp
KEMANA KAU PERGI
SENJA ?
05, DESEMBER 2016
Para burung telah berhamburan memasuki hamparan langit yang
sudah mulai bersolek dengan klushon merah dan jingga yang di padu padukan
dengan warna biru. Tenangnya suara angin, ranting-ranting yang dijamahnya pun senandung
sholawat di masjid dan mushola didesaku memenuhi telingaku, mengingatkanku
untuk segera pergi dari tempat ini, tempat dimana kita selalu menyelaraskan
pandangan kepada satu titik yang sangat
memukau itu, tapi, entah tak ada sesuatupun yang akan bisa membuatku enyah dari
bibir bukit yang sedari tadi telah aku tiduri.
Jauh disana mentari berwarna kuning madu mulai menepi ke
selah-selah bukit, garis-garis kaki langitpun telah menampakkan pesonanya,
menghipnotiku menjadikan gerakan erotis mataku semakin menjadi, dan akupun
semakin lupa untuk beranjak, melangkahkan kakiku ke lekuk tubuh jalan menuju
kediamanku.
Sesekali aku melirik datar pada lautan yang terkena bias
matahari sore, berharap kapalmu akan segera berlabuh di bibir pantai, yang tak
jelas ku poles karena tertutupi oleh pepohonan. Mulutku bergumam, menyebutkan
namamu disetiap desah nafasku, “aku ingin kau segera datang sayang”. Gantilah
kesepian ini menjadi kebahagiaa, datanglah segera aku menunggumu.
Disinilah, bukit ini aku bisa meneteskan segelincir air di
mataku, sesak sangat dalam dihatiku yang telah haus akan perjumpaan denganmu,
disini pula aku merasakan kehadiranmu senja, kekasihku.
Disini kau dan aku
terbiasa bersama
menjalani kasih
sayang
bahagiaku denganmu
(irwansyah vant acha r.)
Saat itu senja, saat dimana mataku menyelam kedalam matamu,
tanganmu yang ku genggam tak bergerak melawan meski sangat erat karena ku tak
mau kehilanganmu. Lama sudah kita saling menatap, tanpa saling berpegangan
erat. Suaramu menyadarkanku untuk segera menghentikan diam kita. “mas!!” suara
lembutmu membuatku terkejut, “iya, senjaku sayang” sahutku dengan nada
terkejut.
“mari kita pulang bersama menyusuri setiap lekuk jalan untuk
berlalu dari bukit ini” ajakmu, dengan tatapan memohon padaku. Sejenak aku terdiam,
gumam hatiku “aku masih tidak mau
pulang” karena masih terlalu menyenangkan menatapi lensa matanya yang sangat
indah.
“mas, ayo bapak sudah menunggu dirumah” suara yang khas itu
membuat sakit dadaku serasa sesak sangat. “iya sayng” jawabku terbata, ku
sambar halus tangannya dan plang dengan bergandengan, sesekali kita saling
berbincang lirih di setiap langkah kaki.
Dalam perjalanan pulang, tak ada tawa pun simpul senyum
senyum dibibirnya, hal itu cukup membuatku heran karena senja tidak pernah
bersikap seperti ini, banyak pertanyaan memenuhi kepalaku, inginku bertanya
namun lidah ku terasa ngilu.